Sobat Media:
Salam, selamat petang, sobat media. Kembali kita berjumpa dalam rubrik "Kabar Buku" dari Tangan Terbuka Media—Bangun Jiwa via Media. Kita masih mendiskusikan salah satu buku terbitan Tangan Terbuka Media, yaitu buku Pada Mulanya, Suara Intergenerasi Dalam Kitab Kejadian. Buku ini ada di hadapan saya sekarang bersama dengan penulisnya, Pendeta Yoel Indra Semoro. Selamat petang, Pendeta Yoel.
Pendeta Yoel:
Selamat petang, Mas. Terima kasih sudah mengundang saya kembali.
Sobat Media:
Terima kasih, Pendeta Yoel, sudah hadir lagi. Kali ini kita akan memperbincangkan tema “Masakan yang Merah-Merah,” yang diinspirasi dari Kejadian Pasal 25. Tema ini berkisah tentang Esau, yang dalam keadaan lapar meremehkan hak kesulungannya dan menukarnya dengan masakan kacang merah buatan Yakub.
Nah, Pak Pendeta, cerita ini unik. Mungkin banyak dari kita mengenalnya sejak Sekolah Minggu, tetapi dari sudut pandang budaya modern, konsep ini mungkin terasa asing. Bisa dijelaskan, apa sebenarnya hak kesulungan itu? Dan jika hak kesulungan memang milik anak sulung, apakah bisa begitu saja ditukar hanya dengan barter makanan atau harta?
Pendeta Yoel:
Ya, ini memang menarik. Hak kesulungan bukan hanya konsep dalam budaya Israel, tapi juga dalam banyak budaya lain. Anak sulung dianggap pemimpin dan ahli waris utama, yang meneruskan marwah keluarga. Esau, dalam keadaan sangat lapar, seolah merasa “nyaris mati” dan ingin segera makan masakan Yakub, adik kembarnya. Yaakub, meskipun hanya terpaut beberapa detik dari Esau, terlihat berambisi menjadi anak sulung.
Di beberapa budaya, bahkan ada panggilan khusus untuk orang yang lahir pertama, seperti “bapaknya si A” atau “kakeknya si B,” yang menunjukkan penghormatan. Hak kesulungan memang spesial, dan karena itu, bisa menimbulkan iri dari saudara-saudara lain, apalagi kalau lahirnya sangat berdekatan.
Sobat Media:
Benar sekali. Namun, kembali ke pertanyaan awal, apakah hak kesulungan itu sebenarnya bisa dipertukarkan begitu saja dengan sepiring makanan?
Pendeta Yoel:
Inilah yang menjadi persoalan. Esau merasa boleh menukarnya. Padahal, Tuhan sudah menetapkan dia sebagai anak sulung, dan menukar hak kesulungan ini adalah tindakan yang meremehkan Sang Pemberi, yaitu Allah, sekaligus orang tuanya. Jadi, Esau salah karena meremehkan anugerah tersebut. Tapi, Yaakub juga tidak benar, karena dia tahu kelemahan Esau dan memanfaatkannya demi memperoleh hak kesulungan itu.
Sobat Media:
Menarik sekali, Pendeta. Dalam buku ini, dijelaskan bahwa karakter Esau dan Yakub cukup unik. Esau agak pemarah, impulsif, dan menganggap remeh hal-hal penting, sementara Yakub dikisahkan sebagai pribadi yang licik dan menghalalkan segala cara. Menurut Pak Pendeta, apakah karakter ini hasil dari didikan keluarga atau karakter bawaan sejak lahir?
Pendeta Yoel:
Ini memang berkaitan dengan pola asuh. Ishak, ayah mereka, lebih menyukai Esau, sementara Ribka lebih dekat dengan Yakub. Jadi, bisa dibilang karakter Esau dibentuk oleh Ishak dan Yakub oleh Ribka. Dalam keluarga, orang tua punya favoritisme, yang kadang terlihat. Namun, meskipun mereka dibesarkan dalam keluarga yang tidak sempurna, pada akhirnya Yakub belajar dari kelemahannya dan menjadi pribadi yang bergantung pada Tuhan. Bahkan, Esau yang pernah ingin membunuh Yakub, pada akhirnya bisa mencintai dan memaafkannya. Ada momen di mana Yakub berkata bahwa melihat Esau seperti melihat Allah yang siap mengampuni.
Sobat Media:
Ini poin penting ya, bahwa dalam keluarga sering ada ketidaksempurnaan, dan favoritisme bisa muncul. Namun, yang lebih penting adalah apakah kita mau belajar dan berubah, bukan menyalahkan masa lalu.
Pendeta Yoel:
Betul, itulah pelajaran terbesar. Kita semua punya kelemahan. Orang tua cenderung lebih menyayangi anak yang penurut, dan anak-anak yang kreatif atau berbeda sering dianggap pembangkang. Tapi, dengan terus belajar menjadi orang tua yang bijak dan anak yang penuh kasih, kita bisa membawa pembaruan dalam keluarga. Intinya bukan menyalahkan kondisi, tapi melihat ke depan, apa yang bisa diperbaiki.
Sobat Media:
Betul sekali, Pak Pendeta. Kisah ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tapi justru menunjukkan kelemahan semua anggota keluarga, termasuk Ishak dan Ribka. Dengan mengakui kekurangan, kita bisa menjadikan Tuhan sebagai pemenang utama. Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membangun keluarga yang kokoh?
Pendeta Yoel:
Yang penting adalah mengundang Tuhan dalam keluarga. Kita mungkin punya asumsi bahwa kekayaan atau kepintaran adalah segalanya. Tapi, semua ini bisa berubah. Asumsi terbaik adalah bahwa Tuhan selalu baik dan akan menolong kita hingga akhir. Jika kita percaya Tuhan tidak berubah, maka seharusnya kita berpegang pada-Nya.
Sobat Media:
Benar. Saya ada satu pertanyaan lagi, Pak Pendeta. Jika rencana Allah sudah menetapkan Esau sebagai anak sulung, apakah kelicikan atau usaha manusia bisa mengubah rencana Allah?
Pendeta Yoel:
Tidak, rencana Allah tidak bisa diubah. Dalam kasus ini, sejak awal Allah memilih Yakub meski secara manusiawi Esau adalah anak sulung. Pilihan ini adalah prerogatif Allah, bukan karena kebaikan Yakub, tetapi karena anugerah. Dengan ini, Yakub tidak boleh sombong, karena semua terjadi atas kehendak Tuhan.
Sobat Media:
Jadi, Allah memberi kebebasan dalam keluarga untuk menjalani perannya, meskipun akhirnya semua berujung pada rencana Allah, yang terbaik bagi semua pihak.
Pendeta Yoel:
Betul. Dan dalam cerita ini, meskipun keluarga tersebut akhirnya terpisah dan mengalami kesedihan, Allah menyediakan jalan pemulihan bagi mereka. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar menerima pemulihan dari Allah.
Sobat Media:
Terima kasih, Pendeta Yoel, atas wawasan yang mendalam ini. Buku ini adalah pengingat bahwa dalam kelemahan, selalu ada ruang bagi Allah untuk memulihkan keluarga kita. Terima kasih bagi yang telah bergabung, dan jika tertarik memiliki buku Pada Mulanya atau ingin memberikannya sebagai hadiah, silakan hubungi Tangan Terbuka Media. Sampai jumpa dalam tayangan berikutnya, dan Tuhan Yesus memberkati kita semua.