
Korupsi di Indonesia telah lama melampaui batas masalah hukum semata; ia telah bermetamorfosis menjadi sebuah krisis multidimensi yang menggerogoti berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024 masih berada di peringkat 99 dari 180 negara dengan skor 37, sebuah peningkatan yang belum dapat dikategorikan membanggakan. Hal ini mengindikasikan bahwa korupsi telah menjadi "dinamika sosial-politik yang mengakar" dan "penyakit sosial yang berbahaya" yang sulit diberantas hanya melalui penindakan hukum.
Dampak korupsi sangat luas dan merugikan, tidak hanya sebatas kerugian finansial yang dapat diukur. KPK mencatat bahwa dalam rentang waktu 2001-2012, kerugian eksplisit akibat korupsi dari 1.842 koruptor mencapai Rp 168 triliun, sementara denda dan hukuman yang dijatuhkan hanya mampu mengembalikan Rp 15 triliun. Selisih Rp 153 triliun yang signifikan ini pada akhirnya harus ditanggung oleh rakyat melalui pajak, menunjukkan bahwa korupsi membebankan rakyat secara langsun
Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma dari sekadar menjalankan "program" yang sporadis menjadi pembangunan sebuah "ekosistem" yang terintegrasi dan berkelanjutan. Sebuah ekosistem secara intrinsik lebih kuat karena setiap komponennya saling mendukung. Kebijakan yang baik (infrastruktur) tidak akan efektif tanpa tata kelola yang bersih (struktur) dan tanpa penanaman nilai-nilai yang mendalam di masyarakat (kultur). Pendekatan ini memastikan bahwa pendidikan antikorupsi tidak hanya menjadi mata pelajaran, tetapi sebuah budaya dan habituasi yang meresap ke dalam seluruh lingkungan pendidikan.